Kasus yang menghebohkan publik baru-baru ini mengungkap praktik perdagangan manusia yang mengerikan, yang disebut-sebut sebagai “peternakan manusia”. Tiga wanita asal Thailand berhasil dibebaskan setelah terperangkap dalam jaringan perdagangan manusia yang memaksa mereka untuk menyumbangkan sel telur mereka dengan cara yang sangat brutal.
Dilansir dari Reuters, ketiga korban yang semula dijanjikan pekerjaan sebagai ibu pengganti atau “surrogate mother” akhirnya harus menjalani kehidupan yang jauh dari apa yang mereka bayangkan. Mereka mendapatkan tawaran pekerjaan melalui media sosial, di mana mereka dijanjikan gaji 25 ribu baht (sekitar Rp12 juta) per bulan untuk bekerja dan tinggal bersama keluarga di Georgia. Namun, kenyataannya jauh lebih buruk.
Sesampainya di Georgia, mereka dibawa ke sebuah rumah yang dihuni oleh puluhan wanita Thailand lainnya. Para wanita di sana memberi tahu bahwa mereka tidak memiliki kontrak resmi, dan kenyataan yang dihadapi ternyata jauh berbeda dengan janji yang diberikan. Mereka dipaksa disuntik hormon untuk merangsang indung telur, kemudian dibius dan sel telur mereka diambil menggunakan mesin setiap bulan.
Para wanita yang terperangkap dalam rumah itu dipaksa untuk menyerahkan sel telur mereka, yang diyakini dijual dan diperdagangkan ke negara lain untuk digunakan dalam program bayi tabung (IVF). Menghadapi kenyataan yang jauh berbeda dari yang dijanjikan, korban merasa takut dan berusaha menghubungi keluarga mereka di Thailand. Beberapa korban bahkan berpura-pura sakit agar tidak diproses lebih lanjut.

Tidak hanya dipaksa untuk menyerahkan sel telur, paspor mereka juga disita, dan mereka diancam akan ditangkap jika berusaha melarikan diri. Ketiga wanita tersebut berhasil dibebaskan berkat bantuan dari Pavena Hongsakul Foundation for Children and Women, sebuah LSM yang berbasis di Thailand, yang membantu memulangkan mereka.
Pavena Hongsakul, pendiri dari yayasan tersebut, mengungkapkan bahwa sindikat ini pertama kali terungkap setelah seorang korban lainnya dibebaskan pada September 2024. Dalam kasus tersebut, korban dipaksa untuk membayar uang tebusan sebesar 70 ribu baht (sekitar Rp33 juta) kepada sindikat tersebut.
Menurut laporan dari salah satu korban, masih ada ratusan wanita lain yang terperangkap di Georgia dalam kondisi serupa, dan mereka tidak memiliki uang untuk membayar pembebasan mereka. Diperkirakan masih ada sekitar 100 wanita yang menjadi korban perdagangan manusia di Georgia.
Saat ini, pihak berwenang dari Thailand dan Georgia sedang melakukan penyelidikan terkait jaringan perdagangan manusia ini. Otoritas setempat telah memeriksa empat warga negara asing yang diduga terlibat dalam sindikat tersebut, sementara upaya pemulangan korban dan penangkapan pelaku terus berlanjut.