Statusternate.com – Kekayaan alam Indonesia khususnya di Maluku Utara dan Sulawesi membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil kebijakan untuk melarang ekspor mineral mentah dan hilirisasi di dalam negeri.

Kebijakan ini, membuat dunia ramai-ramai menyerang Indonesia, karena kebijakan itu dianggap tidak menguntungkan buat mereka.

Presiden Jokowi menegaskan, Pemerintah Indonesia akan terus melanjutkan program hilirisasi meskipun di tengah “serangan” dunia yang bertubi-tubi, mulai dari gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hingga kritikan Dana Moneter Internasional (IMF).

“Oleh sebab itu, hilirisasi ini apapun harus kita teruskan, meskipun kita digugat oleh WTO, meskipun kita diberikan peringatan oleh IMF, apapun barang ini harus kita teruskan,” tegas Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia masa bakti 2023-2028 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (31/7/2023).

Presiden menyebut, hilirisasi penting guna mendorong Indonesia menjadi negara maju pada.

“Jadi sore ini saya akan bicara mengenai hilirsasi, karena menurut saya ada 2 hal penting yang menyebabkan kita bisa melompat menjadi negara maju, pertama pengembangan SDM karena bonus demografi yang sukses dilakkan, sekarang ini belum. Kalau itu bisa dilakukan, hilirisasi berhasil untuk perkebunan perikanan pertanian, kalau hitungan World Bank, IMF, OECD di 2040-2045 saya yakin ini bisa agak maju,” tuturnya.

Presiden Jokowi pun mengungkapkan dampak hilirisasi nikel yang sudah dijalankan Indonesia sudah menyerap lapangan kerja jauh berlipat-lipat dibandingkan ketikan hanya menjual mineral mentah.

BACA JUGA  Malut United vs Persija: Menutup Tahun dengan Kemenangan

Dia menyebut, sebelum hilirisasi, lapangan kerja di sektor nikel hanya sebesar 1.800 tenaga kerja. Namun ketika sudah melakukan program hilirisasi, jumlah tenaga kerja yang diserap mencapai 71.500 orang. Itu pun hanya yang berada di Sulawesi Tengah, belum termasuk di daerah lain yang juga turut menggencarkan program hilirisasi.

“Kemudian, di Maluku Utara, sebelumnya hanya 500 orang, setelah hilirisasi 45.600 pekerja yang bisa bekerja di hilirisasi nikel di sana,” imbuhnya.

Begitu juga dengan dampak pada nilai ekspor. Presiden menyebut, nilai ekspor nikel Indonesia setelah maraknya hilirisasi di Tanah Air melonjak menjadi US$ 33,8 miliar atau sekitar Rp 507 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) pada 2022 lalu dari US$ 2,1 miliar sebelum hilirisasi ini berjalan pada beberapa tahun lalu.

“Kalau kita lihat ini untuk seluruh produk turunan nikel, tidak hanya besi baja saya dulu US$ 1,1 billion, ini seluruh produk turunan nikel 2014-2015 ke sana kita ekspor barang mentah hanya menghasilkan US$ 2,1 billion, kurang lebih Rp 31 triliun, setelah hilirisasi menjadi Rp 510 triliun, dari nikel kembali lagi dari US$ 2,1 bilion melompat menjadi US$ 33,8 bilion, berarti melompatnya berapa kali,” tuturnya.

Seperti diketahui, pada 2020 Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO karena melarang ekspor bijih nikel. Sayangnya, pada Oktober 2022 lalu WTO menyetujui gugatan Uni Eropa dan meminta Indonesia untuk mengubah kebijakannya. Tak tinggal diam, Pemerintah Indonesia mengajukan banding atas kekalahan pertama ini pada Desember 2023 lalu.

BACA JUGA  Malut United vs Persija: Menutup Tahun dengan Kemenangan

Belum juga proses sidang banding berjalan, Uni Eropa kembali melakukan “serangan” baru melalui konsultasi Penegakan Aturan atau Enforcement Regulation. Ini dilakukan untuk melakukan konsultasi kepada industri-industri yang dirugikan atas kebijakan Pemerintah Indonesia.

Jika terbukti ada kerugian, Uni Eropa akan melakukan pembalasan, salah satunya dengan menerapkan bea masuk barang-barang dari Indonesia.

Selain Uni Eropa, IMF juga mengkritik kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi. IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.

IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.

“Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini,” kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Selasa (27/6/2023).

Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.

“Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif,” tambahnya.