PENGEMIS bukan sekadar orang miskin yang meminta-minta uang untuk bertahan hidup. Pengemis sudah menjadi semacam pekerjaan yang sudah diindustrialisasi. Ada jaringan yang mempekerjakan pengemis secara terkoordinasi. Dalam beberapa kasus banyak ditemui pengemis yang berhasil beli rumah dan mobil dari hasil mengemis.
Di beberapa kota mengemis di pingir jalan atau di perempatan jalan dilarang, dan pelakunya digaruk. Kegiatan ini dianggap menganggu pemandangan kota dan dikategorikan sebagai penyakit masyarakat atau pekat. Selain pengemis, anak-anak jalanan dan pengamen yang berada di perempatan jalan juga menjadi sasaran razia.
Yang sedang viral sekarang adalah aksi mandi lumpur live di platform TikTok. Nenek-nenek dengan penampilan yang sederhana sengaja mandi lumpur untuk menarik belas kasihan netizen. Dari hasil live show ini nenek itu memperoleh jutaan rupiah.
Sekarang, mengamen dan mengemis dilakukan melalui platform digital. Banyak pengamen digital yang sukses menjadi bintang, karena lagu-lagunya banyak digemari dan dia mendapatkan follower jutaan orang. Para pengemis digital juga mendapatkan hasil yang lumayan besar tanpa harus berdiri di pinggir jalan seharian di bawah terik matahari dan hujan.
Yang sedang viral sekarang adalah aksi mandi lumpur live di platform TikTok. Nenek-nenek dengan penampilan yang sederhana sengaja mandi lumpur untuk menarik belas kasihan netizen. Dari hasil live show ini nenek itu memperoleh jutaan rupiah.
Dari live tersebut, mereka dapat memperoleh sejumlah koin TikTok dari viewers, yang dapat ditukarkan ke dalam uang tunai. Dalam satu kali live, mereka bisa mengantongi Rp 2 juta dalam 30 menit. ini adalah tren digitalisasi yang menciptakan hiburan dengan mengeksploitasi kemiskinan.
Ada juga hiburan digital yang mengeksploitasi kesedihan. Seorang remaja Gorontalo bernama Fajar Labatjo sekarang sangat populer dengan sebutan Fajar Sadboy. Dia menarik perhatian jutaan penggemar karena tampil sedih dan suka menangis setiap kali berbicara. Penyebabnya, dia putus cinta ditinggal pergi pacarnya.
Tampilan Fajar yang terlihat memelas dan selalu terlihat menangis, menarik iba netizen. Tapi, di sisi lain netizen terhibur oleh tampang sedih Fajar. Eksploitasi kemiskinan dan kesedihan ini menjadi hiburan yang sekaligus menghasilkan banyak uang. Fajar Sadboy menjadi bintang televise dan diundang untuk tampil sebagai bintang tamu oleh banyak Youtuber terkemuka.
Bukan hanya terlihat sedih, Fajar juga terlihat bodoh dan sering tidak menyambung setiap kali menjawab pertanyaan. Ketika ditanya mengenai siapa anak tertua di dalam keluarganya, Fajar menjawab yang paling tua adalah bapaknya. Jawaban yang terlihat bodoh ini menjadi viral karena menghibur.
Fajar yang baru berusia 15 tahun terlihat terlalu cepat dewasa dibanding umurnya. Dia berpacaran dan putus cinta kemudian mencoba bunuh diri dan digagalkan temannya. Sejak itu videonya viral dan Fajar mendadak terkenal.
Popularitas Fajar dan nenek mandi lumpur tidak terlepas dari pengaruh media sosial dan media massa. Fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri bagi media. Di era disrupsi digital ini banyak media yang menangkap sebuah peristiwa yang berpeluang trending lalu mereproduksi dengan kemasan tertentu untuk dikonsumsi publik.
Kemiskinan di dunia maya ternyata ada paralelnya dengan kemiskinan di dunia nyata. Sebuah laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Hal ini berdasarkan data BPS per September 2023. Angka kemiskinan Yogyakarta tercatat sebesar 11,49 persen. Persentase kemiskinan itu berada di atas rerata nasional, yaitu 9,57 persen.
Ada ironi dan anomali pada data statistik itu. Yogyakarta terkenal sebagai daerah destinasi wisata paling top di Indonesia bersama Bali. Karena itu menjadi mengherankan jika wilayah itu mempunyai orang miskin tertinggi di Jawa.
Yogyakarta juga terkenal sebagai punjernya Jawa, episentrum budaya Jawa karena disana terletak kerajaan Islam Jawa yang masih tetap eksis sampai sekarang. Budaya Jawa yang submisif membuat orang Yogya bisa lebih menikmati hidup, meskipun kondisinya melarat. Hal itu menjadi anomali sosial karena orang Yogya ternyata lebih bahagia ketimbang penduduk Jawa lainnya.
Hasil survei BPS per September 2022 juga menunjukkan kesenjangan antara si kaya dan miskin di Yogyakarta makin melebar. Kesenjangan si kaya dan miskin ini diukur oleh BPS melalui Gini Ratio. Berdasarkan data BPS, Gini Ratio di Yogyakarta mencapai 0,459
Gini Ratio adalah metode yang digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan atau pengeluaran penduduk di suatu wilayah. Range Gini Ratio berkisar antara 0 hingga 1. Nilai rasio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
Rasio Gini 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna, atau setiap orang memiliki pendapatan yang sama. Sedangkan, Rasio Gini bernilai 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna, atau satu orang memiliki segalanya sementara orang-orang lainnya tidak memiliki apa-apa. Dengan kata lain, Rasio Gini diupayakan agar mendekati 0 untuk menunjukkan adanya pemerataan distribusi pendapatan antar penduduk.
Ketimpangan sosial dan ekonomi ini menjadi fenomena lama di Indonesia. Angka-angka pertumbuhan ekonomi naik tetapi pemerataan belum terjadi. Sekitar 10 persen orang kaya Indonesia menguasai aset dan uang sampai 80 persen. Orang kaya Indonesia menjadi super crazy rich dan orang miskin Indonesia menjadi extreme poor, melarat kuadrat, karena penghasilannya di bawah 2 dolar AS perhari sesuai standar kemiskinan internasional.
Yogyakarta adalah kota pelajar dengan banyak universitas yang menjadi jujugan para mahasiswa. Banyaknya pendatang baru menjadikan gap ekonomi yang cukup lebar. Apalagi sekarang banyak perguruan tinggi yang memasang tarif semakin tinggi, dan harga tanah dan properti di Yogya sudah selevel dengan Jakarta.
Para pendatang baru memiliki kondisi ekonomi yang lebih mapan daripada rata-rata orang Yogyakarta yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian adalah rumah tangga miskin. Selain miskin, profil usianya juga banyak diisi oleh usia non-produktif.
Ironinya adalah dalam kondisi yang miskin masyarakat Yogya ternyata paling bahagia. Data dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan hal itu.
Salah satu penyebabnya adalah budaya lokal yang disebut ‘’nerimo ing pandum, sak dermo ngelampahi’’, menerima apa yang menjadi jatahnya dan menjalani apa yang harus dijalani. Artinya, menerima kondisi apa pun yang dialaminya. Budaya ini bersifat permisif dan submisif terhadap kemiskinan, karena meyakini bahwa kemiskinan adalah pemberian Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas.
Sisi positif dari budaya ini adalah timbulnya resiliensi atau ketabahan terhadap penderitaan, karena adanya keyakinan religius. Negara-negara religius seperti India, Pakistan, atau Nepal memakai alasan religius untuk menerima kondisi yang ada.
Kebahagiaan tidak diukur dari pemenuhan kebutuhan material, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan spiritual. Miskin adalah bagian dari jalan hidup yang harus dilakoni dengan dignity, kebesaran dan kehormatan jiwa. Karena itu mengemis adalah tindakan yang dianggap aib, karena merusak kehormatan. Kemiskinan bukan untuk dipertontonkan tetapi harus disembunyikan untuk menjaga martabat diri dan keluarga.
Dari perspektif ekonomi yang positifistik seharusnya ada korelasi positif antara kebahagiaan dan kesejahteraan ekonomi. Harusnya ada korelasi antara kebahagiaan dan kesuksesan. Negara-negara paling bahagia di dunia adalah negara-negara Skandinavia, ekonominya bagus, tingkat pemerataannya bagus, dari sisi pendapatan per kapita termasuk negara maju yang makmur, dan pada akhirnya masyarakatnya paling bahagia di dunia.
Fenomena mandi lumpur di platform digital adalah produk disrupsi digital yang membawa perubahan sosial dan budaya. Mengemis dan mengeksploitasi kemiskinan bukan lagi aib, malah sebaliknya menjadi hiburan dan kegembiraan. (*)
Penulis : Dr.Dhimam Abror
Mantan Pemred Jawa Pos